Pada sekilas tampilan status whatsapp teman aku seperti ditampar. Kalimat dalam kata-kata itu seolah membuat gemuruh dalam dadaku. Kalimat yang ternyata lupa ku screenshoot dan telah hilang dari timeline whatsapp itu membekas. Sementara aku ingin makin mengukuhkan ingatanku akan hal itu, ini sebabnya tulisan ini lahir.
Menjadi Penulis aku kira mudah pada awalnya. Aku sudah tertarik dengan dunia kepenulisan semenjak puisi pertamaku lahir saat aku duduk di bangku Kelas 5 SD. Puisi itu berjudul “Kebunku” yang sajaknya tersimpan rapi dalam buku tulis lusuh Bahasa Indonesia ku yang entah disimpan oleh Ibu dimana.
Puisi itu adalah tugas mengarang yang menghadiahiku pengalaman menyenangkan. Itulah kali pertama sajakku dibacakan didepan kelas dan sejak saat itu aku makin menyukai pelajaran Bahasa Indonesia, dan barangkali berkat tulisan inilah memori itu dapat aku gali kembali.
Pada tahun-tahun sekolah dasar, menjadi pengarang cerita bukanlah sebuah kebiasaan atau kemampuan yang bisa diakui dengan bangga oleh guru. Aku adalah salah satu dari sekian banyak murid yang tidak pernah mendapat kesempatan untuk mencoba peruntungan lomba individu semasa SD dan itu menjadi kekecewaan yang kupendam hingga akhirnya bisa aku tuangkan hari ini.
Pada masa itu, paduan suara, menari dan tetembangan adalah skill yang dicari oleh guru. Karena aku tergabung dalam grup kesenian samroh maka jadilah aku sebagai pemegang instrumen Slenthem, lagi-lagi diposisi yang jika suara dari isntrumen ini didengarkan pada rangkaian instrumen lain maka suaranya akan sangat sulit dikenali. Aku merasa kecil lagi.
Meskipun pada akhirnya latian berminggu-minggu untuk menabuh Slenthem itu terbayar dengan keluarnya perwakilan kami sebagai 5 Penyaji Terbaik Non Ranking, tapi tetap saja itu masih membuatku terasa seperti aku bukan siapa-siapa disana. Lalu pada suatu titik kebosanan ketika les matematika, aku mengisinya dengan membuat sebuah cerita karangan berjudul “Putri Kipas”. Pembacanya adalah Guru Les ku yang biasa dipanggil Mbak Sulis. Ia mengapresiasi tulisanku dan mengatakan kalau aku memiliki daya imajinasi yang bagus. Pada waktu itu aku mengira imajinasi adalah sesuatu yang hanya berujung pada hayalan semu yang tidak akan pernah habis. Tapi pada saat usia ku menginjak kepada 2 saat ini, aku merasa imajinasi makin memudar, digantikan dengan hantu-hantu realistis.
Bekal “imajinasi” yang dikatakan Mbak Sulis ini aku bawa hingga aku masuk SMP. Dijenjang ini aku bertemu dengan Bu Nur Laila, dan 2 kawan lain bernama Indah dan Hani. Egoisme pada level ini lah yang membuatku tidak memiliki banyak pengalaman yang cukup berkesan dilingkaran pertemanan. Aku mungkin masih terlalu tertutup untuk menyuarakan ide ku. Aku selalu dianggap seperti benda mistis yang sudah selayaknya hanya dipandang untuk dijauhi. Setidaknya ini yang diriku rasakan.
Bertemu Bu Nur membuatku merasakan pengalaman pertama untuk mengirimkan karya kepada panitia lomba menulis. Sementara Hani dan Indah telah lebih dulu membuatku merasa jadi seperti para author wattpad meskipun itu terjadi pada 2011 silam, mereka lah pembaca setia novel harianku. Novel yang kutulis manual didalam buku catatan Sidu dengan tebal 38 lembar.
Setidaknya pada kelas VIII itu hidupku menjadi cukup berwarna dengan kisah tokoh-tokoh yang telah kuciptakan dalam imajinasiku sendiri. Serta merasa dihargai karena karyaku telah dinanti pada setiap pagi ketika berangkat ke sekolah.
Ketika aku melanjutkan ke Sekolah Menengah Kejuruan, dunia kepenulisanku bergeser. Aku memang telah mengenal blogger, juga website, tapi aku tidak pernah istiqomah dalam menulis didalamnya. Karyaku dibidang kepenulisan berujung pada penulisan skript film pendek, cerita sinopsisku untuk film pendek tugas akhir terpilih untuk dilanjutkan jadi ide utama, dan aku terpilih jadi sutradara. Sebuah kehormatan tentunya, dibantu dengan tim yang solid akhirnya sebuah film pendek dokumenter bisa kami selesaikan, dan jika berkenan melihat ini adalah link nya Film Dokumenter Juragan Cilik. Hasilnya aku sadari masih sangat sangat sangaaat berantakan. Jika kalian berkenan melihat, tolong berikan juga apresiasi kalian lewat kolom komentar, aku akan sangaat berterima kasih ❤.
Teman, kisahku ini masih cukup berantakan. Sampai saat ini aku masih belum menemukan ‘pola’ untuk perjalananku, aku masih merasa banyak hal yang belum bisa kuungkapkan dengan jujur dan berani, aku belum bisa lepas untuk berekspresi, aku masih sering memendam perasaan marah dengan diriku sendiri. Serta diam-diam aku masih bertahan dengan rasa penyesalan, apapun itu.
Meskipun berulang kali aku sudah berjanji untuk menjadi pemaaf, penyabar, dan ikhlas tapi waktu sering membolak balikkan hati juga, semoga tulisan ini yang menjadi pengikat. Semoga lain waktu ketika aku lupa, ada banyak strategi semesta untuk membawaku kembali pada titik kesadaran ini. Semoga.
Dan untuk kalian, terima kasih banyak sudah meluangkan waktu untuk membaca, dan ketahuilah jika kalian membaca ini sampai akhir dan menemukan satu kesadaran serupa, ini bukan karena aku, tapi ini adalah sebab keputusan kalian sendiri, yang bersedia membaca hingga akhir. Sekali lagi Terima Kasih. Salam, Lisa.